Saturday, April 23, 2011

The Kane Chronicles : The Red Pyramid

Rick Riordan memberikan buku bagus lagi! Kayaknya belum ada bukunya Riordan yang nggak aku suka. Dan kali ini kita akan membaca lagi myhtology-based novel khas Riordan, dalam serial barunya, The Kane Chronicles, dengan seri pertamanya: The Red Pyramid. Piramid? Yep. Jika sebelumnya kita sudah kenyang dengan mitologi Yunani di serial Percy Jackson (dan dilanjutkan The Heroes of Olympus), sekarang kita akan berurusan dengan mitologi Mesir.

Tokoh utama kita adalah Sadie dan Carter, dua bersaudara yang tumbuh terpisah. Sejak kematian ibu mereka, Sadie tinggal bersama kakek dan nenek mereka yang tinggal di Inggris, sedangkan Carter ikut bersama ayah mereka, seorang arkeolog yang pergi ke berbagai penjuru dunia. Sadie dan Carter hanya bertemu dua kali dalam setahun, hari dimana kakek dan nenek mereka mengizinkan Sadie menemui ayah mereka. Akibatnya, Sadie dan Carter lebih seperti sepupu jauh daripada kakak beradik.

Kisah ini dimulai di hari pertemuan keluarga. Sayangnya,sejak awal hari ini sudah terasa tak biasa. Carter melihat ayahnya tampak amat waspada. Saat mereka sampai di depan rumah kakek-neneknya, Carter melihat ayahnya berbicara dengan pria aneh di depan rumah. Carter lalu masuk ke rumah sendiri dan bertemu Sadie, yang sudah menunggu di depan pintu dengan sikap cueknya. Ketika mendengar pembicaraan misterius ayah mereka, Sadie langsung menuju keluar untuk menguping walau dicegah Carter (menurut Sadie, ketika orang dewasa melarang untuk melakukan sesuatu, berarti hal itu pantas untuk dilakukan).

Ayah mereka sedang terlibat ketegangan dengan pria itu, yang bernama Amos, dan anehnya terasa familiar bagi Carter dan Sadie. Pria itu berusaha mencegah ayah mereka untuk melakukan sesuatu. Sadie mengagetkan mereka, dan mereka berhenti berbicara. Begitu pria itu pergi, ayah mereka mengajak Sadie dan Carter ke British Museum (“Satu malam bersama, dan kau justru ingin melakukan penelitian," gerutu Sadie). 

Ayah mereka mengajak mereka ke Museum untuk melihat Rosetta Stone, artifak yang memecahkan rahasia cara membaca hieroglif untuk pertama kalinya. Setelah berhasil 'menyingkirkan' sang kurator museum untuk sementara, ayah mereka meminta Sadie dan Carter mengunci sang kurator di ruangannya dan menunggu dirinya di luar ruangan. Bukan Sadie jika menuruti perkataan ayahnya. Setelah mengunci si kurator, ia dan Carter mengendap-endap masuk kembali ke dalam ruang pameran. Ayah mereka tampak berada di sisi Rosetta Stone, menggunakan sebuah tongkat untuk menuliskan hieroglif bercahaya di batu itu, yang anehnya dapat dimengerti Sadie (yang seumur hidup tak pernah berurusan dengan hal-hal seperti itu!).

Ledakan besar terjadi dan batu itu pecah berkeping-keping. Ayah mereka tampak terluka, dan di hadapannya berdiri sebuah sosok berapi. Di depan mata Sadie dan Carter, sosok itu mengurung ayah mereka ke dalam sakrofagus emas yang kemudian tenggelam ditelan bumi. Api besar menyala di ruangan dan mereka berdua tak sadarkan diri.

Begitu sadar, tak ada yang mempercayai cerita mereka. Bahkan ayah mereka dan Carter diduga sengaja menghancurkan Rosetta Stone. Tiba-tiba muncul pria misterius yang sebelumnya mereka lihat berbicara dengan ayah mereka, Amos. Amos membawa Sadie dan Carter keluar dari Inggris menuju New York. Ternyata, Amos adalah paman mereka, itulah mengapa mereka merasa mengenalnya. Dari Amos-lah Sadie dan Carter mengetahui kenyataan sebenarnya tentang keluarga mereka, tentang ayah dan ibu mereka yang berasal dari garis keturunan kuno para penyihir. Juga kenyataan tentang para dewa-dewi Mesir Kuno dan keberadaan House of Life, perkumpulan para penyihir yang sudah ada dari zaman Mesir Kuno dan bertugas melayani pharaoh. Di masa lampau, para penyihir dapat menggunakan kekuatan para dewa untuk melakukan hal-hal besar.

Para dewa, dan makhluk-makhluk Duat lainnya, tidak mampu ada di dunia nyata tanpa memiliki inang yang mengikat mereka dengan dunia. Di masa ketika Mesir Kuno masih jaya, para pharaoh terhebat seringkali merupakan inang para dewa. Menjadi inang dewa berarti memiliki akses tanpa batas pada kekuatan dan pengetahuan mereka. Tetapi, sejak kejatuhan Mesir Kuno, menjadi inang dewa adalah hal yang amat berbahaya. Garis keturunan pharaoh semakin menipis dan tak ada yang mampu menjadi inang dewa lagi. 

Bagaimanapun, para dewa Mesir Kuno adalah makhluk yang berbahaya. Menyadari hal ini, sejak kekalahan Mesir dari Romawi, House of Life melarang para penyihir memanggil dewa, lebih-lebih menjadi inang dewa. House of Life memburu para dewa dan mengurung mereka. Seperti yang dikatakan Amos, "They are powerful beings, primeval forces, but they are not divine in the sense one might think of God. They are created entities, like mortals, only much more powerful. We can respect them, fear them, use their power, or even fight them to keep them under control. But no worshipping."

Dari Amos juga Sadie dan Carter mengetahui apa yang sudah ayah mereka lakukan. Ayah mereka berusaha memanggil Osiris, sang dewa kematian. Tetapi, dalam prosesnya ia memanggil empat dewa Mesir Kuno lain, Horus, Set, Isis, dan Nephtrys. Sosok berapi yang Carter dan Sadie lihat di museum adalah Set, sang perwujudan Chaos, yang terburuk di antara semuanya. Set berencana untuk membuat "badai terbesar dalam sejarah" (terakhir kali ia melakukanya ia menciptakan gurun Sahara) dan membebaskan iblis, monster, dan dewa-dewa lain dari dalam Duat.

Sadie dan Carter bertekad untuk menyelamatkan ayah mereka walaupun ancaman yang dihadapi tidak main-main. House of Life tidak membantu mereka, justru belakangan juga menjadi ancaman bagi mereka (karena suatu alasan!). Set mengirimkan monster-monster mengerikannya untuk menghalangi mereka. Dalam perjalanannya, mereka juga membuka berbagai rahasia baru. Kenyataan tentang keluarga mereka, kematian ibu mereka, niat sebenarnya dari orang tua mereka, dan apa yang terjadi pada mereka di malam di museum itu. Perjalanan melintasi Mesir, Eropa, dan Amerika. Dan ancaman sebenarnya yang ternyata jauh lebih berbahaya daripada Set. Akhir kisah ini adalah awal menuju panggung perang utama, ketika cara para dewa harus dijalani lagi demi menyelamatkan masa depan, walaupun House of Life harus menjadi lawan mereka.

Ni novel benar-benar khas Riordan, bagaimana mitologi dibalut dengan kisah masa kini. Asyik dan lucu. Juga bagaimana sudut pandang pencerita berubah-ubah antara Sadie dan Carter (Shut up, Sadie. Yes—I’m getting to that part). Balutan ceritanya menarik banget deh! Mitologi Mesir Kuno yang terkenal rumit itu jadi gampang dimengerti.

Dari segi mitologi, aku mencatat sebuah hal menarik: di kebudayaan kuno apapun, Langit dan Bumi selalu berperan penting bagi kelahiran dewa-dewa lainnya dan memiliki posisi sentral. Di mitologi Yunani kita mengenal Ouranos dan Gaea, di mitologi Mesir kita mengenal Nut, dewi langit, dan Geb, dewa bumi, yang menjadi orangtua bagi kelima dewa besar Mesir Kuno.

Dari segi moral, novel ini salah satu yang berani memberikan No Happy Ending. Nggak benar-benar happy ending mengingat apa yang menjadi tujuan Sadie dan Carter berusaha justru tak dapat mereka peroleh di kahir buku ini (ups, spoiler!). Tetapi, humornya asyik banget. Seperti yang kutemukan di serial Percy Jackson dan (agak) hilang di Heroes of Olympus. Akibatnya, stres untuk menunggu lanjutannya, nih!

Artikel Terkait :




2 comments: