Penulis : M. Yuanda Zara
Penerbit : Pinus Book Publisher
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
.............
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan
Puisi inspiratif si atas mungkin sudah tidak asing di telinga para pejuang reformasi dan masyarakat umum. Yup, pada tahun 1998, puisi itu merupakan "mars wajib" para mahasiswa dan pejuang demokrasi lainnya. Puisi simbol perjuangan di atas adalah karya seorang seniman kerakyatan masa Orde Baru, Wiji Thukul.
Wiji Thukul adalah salah satu tokoh inspiratif dan pembaru Indonesia yang tragisnya mati di tangan saudara sebangsa. Bangsa Indonesia memang memiliki kecenderungan menyia-nyiakan tokoh besar yang dimilikinya. Selain Wiji Thukul, masih banyak pembaru Indonesia yang perjuangannya berakhir di tangan bangsa sendiri. Sebut saja tokoh-tokoh besar seperti Tan Malaka, Baharudin Lopa, dan Munir sampai para pejuang rakyat lainnya seperti buruh pejuang Marsinah dan wartawan vokal Fuad Muhammad Syafrudin (Udin). Kisah perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan akhirnya yang tragis akan dibahas lengkap dalam buku ini, Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia.
Tan Malaka, salah satu tokoh perjuangan paling terkemuka yang tragisnya justru tidak dikenal mayoritas generasi muda Indonesia. Ialah Bapak Republik Indonesia. Jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik Indonesia, ia sudah menulis "Menuju Republik Indonesia". Ia menentang diplomasi dengan Belanda dan menuntut kemerdekaan 100 %, hal yang membuat ia tidak disukai banyak pejuang lain.
Marsinah, buruh pejuang yang percaya bahwa kesejahteraan adalah hak mutlak semua buruh. Ia, yang tekadnya membuat para buruh berbaris mendukungnya, ditemukan tewas di tengah perjuangannya. Kematiannya yang belum terungkap sampai sekarang menciptakan banyak spekulasi.
Udin, wartawan vokal yang berani mengkritisi kebijakan pemerintah. Sikap kritis dan tulisannya yang tajam membuat ia tidak disukai para penguasa. Kematiannya membangkitkan kemarahan para pejuang informasi Indonesia.
Siapa yang tidak kenal Baharudin Lopa? ia adalah pejuang hukum yang tak kenal menyerah dalam memberantas korupsi. Sudah banyak koruptor kelas kakap (sampai paus!) yang dilemparnya ke penjara. Kematiannya yang tiba-tiba membawa keuntungan bagi banyak pejabat yang masuk daftar most wanted alias "siap cekal" Lopa. Sudah tentu, kematiannya dikaitkan dengan sepak terjangnya selama ini dan juga posisinya sebagai Jaksa Agung yang baru diembannya selama 1,5 bulan.
Lalu sosok seorang Munir, cahaya bagi para korban pelanggaran HAM, yang dibunuh di tengah perjuangannya. Siapa orang Indonesia yang tak kenal Munir? Bersama teman-teman seperjuangan, diangkatnya kemabali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, sebut saja kasus Tanjung Priok sampai Timor Timur, dan diperjuangkannya nasib para korban. Kematiannya yang (jelas-jelas) merupakan pembunuhan tingkat tinggi belum mendapat penyelesaian hingga kini.
Buku ini menjabarkan semua seobjektif mungkin. Begitu banyak pesan yang disampaikan oleh buku ini tetapi ada satu pesan utama: bangsa Indonesia sudah berhutang banyak kepada mereka, para pembaru Indonesia. Bagaimana kita membayarnya? Sebagai saran, pertama, kita harus mengingat jasa mereka dan melanjutkan perjuangan mereka yang belum selesai. Kedua, berikan kepastian hukum, temukan kebenaran akan kematian mereka, dan berikan hukuman setimpal bagia para pelaku pembunuhan. Walau sudah sekian lama berlalu, kebenaran tetap harus ditegakkan.
"Walaupun perahu mau tenggelam ini malam, tetap kita usut pelanggar hukum! Tidak boleh kita mengatakan karena krisis penegakan hukum ditunda. Penegakan hukum tidak mengenal situasi." - Baharudin Lopa
No comments:
Post a Comment