Saturday, December 19, 2009

Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah


Sampai sekarang masih banyak orang-orang yang bertanya-tanya: "kenapa masih ada saja orang-orang yang dapat dihasut oleh organisasi-organisasi ekstrem yang yang berdalih berdasarkan agama? Bukankah sudah jelas bahwa organisasi tersebut justru bertentangan dengan agama. Lalu, mengapa????

Nah, puluhan (bahkan ada ratusan, mungkin) pertanyaan yang menghantui pikiran masyarakat mengenai kehidupan dunia bawah tanah itu. Mengapa anggotanya dapat begitu percaya dan setia walaupun harus mengorbankan keluarga sendiri. Semua ini (mungkin) dapat dijawab dalam novel spektakuler ini, Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah karya Mataharitimoer, nama pena dari Eddy Prayitno. 

Buku ini bersetting masa Orde Baru. Kisahnya sendiri bercerita tentang Royan, seorang pemuda yang memiliki dendam pada pemerintahan Orde Baru. Ayahnya ditembak oleh tentara saat menghadiri sebuah acara pengajian massal. Ibunya kemudian juga meninggal karena sedih dan tidak terima suaminya mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Sejak itu, Royan menjadi gelandangan dan memendam dendam kepada pemerintah.

Hidup Royan yang tak terarah ini berubah ketika ia bertemu dengan seorang kernet metromini yang bernama Supar. Pertemanan Royan dan Supar dimulai ketika Supar menolong Royan yang sedang dikeroyok oleh preman terminal. Sejak saat itu, Supar sering menemui Royan dan sering mengajaknya makan bersama. Persahabatan mereka pun semakin dekat. Supar sering mengajak Royan untuk menginap di rumahnya, terutama jika keadaan tidak memungkinkan bagi Royan untuk tidur di terminal. Atau, mungkin lebih tepat jika dikatakan Supar mengajak Royan tidur di sebuah masjid tidak jauh di belakang rumahnya yang kecil. Masjid itu dinamakan Masjid Kubah Langit.

Kedatangannya ke masjid ini mengubah hidup Royan selamanya. Di sana ia diajak Supar dan teman barunya, Malik, untuk bergabung dengan Remaja Masjid Kubah Langit. Tentu saja, Royan bersedia. Pertemanannya dengan Malik dan Supar yang baru seumur jagung itu sudah cukup untuk mengetuk kembali hati Royan yang rindu akan kedamaian rohani, bagian dirinya yang sudah lama diabaikannya sejak kematian kedua orang tuanya. Sejak hari itu, Royan bertekad untuk kembali ke jalan agama yang sudah lama dilupakannya. 

Di masjid kubah langit ini Royan juga berkenalan dengan empat ustadz muda, yakni Ustadz Rafiq, Ustadz Umar, Ustadz Luthfi, dan Ustadz Ahmad. Mereka berbeda dengan para ustadz dan kiai yang selama ini dikenal Royan. Mereka berpenampilan seperti anak muda dan akrab dengan para remaja masjid. Mereka juga bersikap sebagai teman, dan tidak menggurui. Hal inilah yang membuat Royan dekat dengan mereka.

Ternyata, keempat ustadz muda itu, termasuk Supar dan Malik, adalah anggota sebuah gerakan Islam bawah tanah. Sebuah gerakan yang menentang rezim Orde Baru yang dianggap mendiskreditkan Islam dan juga otoriter. Gerakan ini tidak mengakui Pancasila dan bercita-cita untuk mendirikan sebuah negara berdasar Islam di Indonesia.

Setelah mendengar semua penjelasan para ustadz muda, Royan menjadi yakin bahwa inilah jalan yang paling tepat untuknya. Ia merasa yakin dan terpanggil untuk ikut berjuang dalam menegakkan panji Islam di tanah Indonesia. Ia lalu menyatakan kesetiaannya pada Gerakan, dan saat itu, ia menjadi aktivis full-time.

Berpindah-pindah tempat tinggal dan perlindungan menjadi hal yang biasa bagi Royan. Beberapa bulan setelah ia bergabung dengan Gerakan, tentara mencium aktivitasnya dan ia mengungsi ke tempat perlindungan lain. Ia kemudian terpisah dengan keempat ustadz, Malik, dan Supar yang mendapat tugas di daerah lain. Ia menjadi salah satu kader yang paling loyal dan segera dipercaya untuk menjadi pemimpin suatu wilayah dan menjalankan aktivitas pengkaderan, terutama di kalangan mahasiswa.

Namun, semakin jauh Royan terlibat dalam kegiatan Gerakan, semakin ia menyadari banyaknya hal yang tidak beres dalam Gerakan. Royan menyadari bahwa terdapat banyak pelanggaran hukum agama dalam pelaksanaan kegiatan Gerakan, seperti penggunaan uang infak untuk kepentingan para petinggi Gerakan, sampai suap-menyuap yang ternyata juga menjamur di kalangan petinggi. Semakin Royan berpikir, semakin ia menyadari bahwa Gerakan yang dianggapnya sebagai jalan hidupnya ini ternyata lebih merupakan miniatur Orde Baru. Sampai akhirnya, sebuah kejadian meyakinkan Royan bahwa Gerakan sama bobroknya dengan pemerintah Orde Baru dan ia memutuskan untuk meninggalkan Gerakan selamanya.

Buku ini sangat inspiratif dan penuh informasi. Buku ini secara detiil menjabarkan bagaimana para pengader Gerakan memberikan doktrin dan "pencerahan" bagi orang-orang yang dianggap cocok menerima ajaran mereka. Saat membaca buku ini, aku bahkan merasa kalau yang mereka katakan ada benarnya juga, seperti perkataan Ustadz Lutfi yang menyatakan bahwa setiap muslim seharusnya taat kepada pemerintah yang berdasarkan Islam, bukan pemerintah lainnya. 

Namun, ide yang bagus tidak selalu dapat diterapkan dengan bagus di lapangan. Hal inilah yang ditunjukkan buku ini. Bagaimana kekuasaan, dimanapun itu, ternyata seringkali mengikis idealisme, membuat orang sudi mengorbankan orang lain guna mendapatkan apa yang ia inginkan, bahkan mengorbankan orang-orang yang setia pada mereka.

Buku ini benar-benar membuka wawasan kita, membuat kita memahami dunia bawah tanah, pikiran dan pendirian orang-orang yang berada di sana, dan mengapa mereka memilih jalan itu. Membuat kita memahami motif dari sudut pandang mereka, tetapi sekaligus memberikan peringatan kepada kita untuk berhati-hati dalam memilih jalan dan keyakinan dalam hidup.

Artikel Terkait :




2 comments: